

Kabareditorial.com, Jogjakarta — Bank Indonesia (BI) Sulawesi Selatan mengingatkan potensi guncangan ekonomi akibat memanasnya konflik geopolitik global.
Deputi Kepala BI Sulsel, Wahyu Purnama, menekankan bahwa perang yang terjadi di Timur Tengah dan Eropa bukan hanya mengancam stabilitas keamanan global, tetapi juga berpotensi memperparah inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional hingga daerah.
“Perang Ukraina-Rusia saja sudah membuat inflasi dunia naik tajam. Sekarang muncul lagi konflik Israel-Iran yang jika membesar dan melibatkan sekutu-sekutu mereka, bisa berdampak luar biasa terhadap harga minyak dan emas dunia,” kata Wahyu dalam Media Gathering di Jogjakarta, Selasa (24/6/).
Ia menyebut, jika situasi ini berkembang menjadi konflik bersenjata nuklir, dampaknya bisa mengancam seluruh negara, bukan hanya ekonomi.
“Satu bom nuklir saja bisa meluluhlantakkan satu negara. Amerika memiliki sekitar 5.200 senjata nuklir, Rusia bahkan lebih dari 5.800. Kalau satu saja dijatuhkan, itu kiamat ekonomi,” tegasnya.
Menurut Wahyu, Indonesia sebagai bagian dari ekonomi global tidak bisa luput dari efek domino konflik global. Salah satu potensi dampaknya adalah meningkatnya harga energi dan barang kebutuhan pokok, yang berujung pada inflasi tinggi.
“Jika Selat Hormuz ditutup karena perang, harga minyak dunia akan melonjak. Itu akan berdampak langsung pada harga domestik dan mengganggu stabilitas ekonomi kita, termasuk Sulawesi Selatan,” katanya.
Ia menambahkan, meski inflasi di Sulsel saat ini masih terjaga di kisaran 2 persen hingga Mei 2025, namun gejolak global tetap menjadi ancaman serius.
Lebih lanjut, Wahyu mengungkapkan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen pada 2029, diperlukan upaya luar biasa di berbagai sektor, termasuk manufaktur, pertanian, pertambangan, perdagangan, dan konstruksi.
Sulsel sendiri mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen di 2024, namun angka ini masih jauh dari capaian era 2013-2014 yang pernah mencapai 8,3 persen.
“Menuju pertumbuhan 8 persen itu tidak bisa dengan cara biasa-biasa saja. Kita butuh transformasi ekonomi yang agresif, hilirisasi industri, dan penguatan sektor riil,” ujar Wahyu.


Tidak ada komentar