“Saya ini pernah dagang sirih pinang di Wamena, jual bensin botolan di Puncak Jaya. Hidup mengajarkan bahwa tidak ada pekerjaan yang hina selama halal,” ujarnya sembari tersenyum, mengenang masa-masa perjuangan.
Di bawah langit Papua yang membentang biru, Kamis (31/10/2024) menjadi penanda sejarah yang tak terlupakan. Seorang pria berjas hitam rapi berdiri tegak di antara 45 wakil rakyat terpilih.
H. Wagus Hidayat, atau yang akrab disapa Haji Dayat, melangkah mantap memasuki ruang sidang paripurna DPR Papua, mengukir babak baru dalam lembar kehidupannya yang penuh warna.
Siapa sangka, tangan yang kini menggenggam mandat rakyat itu dulunya pernah bergelut dengan kemudi bus di jalanan Makassar yang keras. Ya, sebelum menjadi ‘raja aviasi’ Papua, Wagus adalah seorang kondektur bus biasa, menyusuri rute-rute panjang dengan mimpi yang tak kalah panjang dalam genggaman.
“Bismillah, setiap pagi saya berangkat dengan keyakinan bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin,” kenangnya.
Merintis dari nol
Ketika fajar masih malu-malu menyapa puncak-puncak Wamena di awal tahun 2000-an, sosok Wagus muda sudah sibuk menata botol-botol bensin eceran.
Tangannya yang berbalut peluh tak pernah mengeluh, seolah memahami bahwa setiap tetes keringat adalah modal masa depan yang ia tabung.
“Saya ini pernah dagang sirih pinang di Wamena, jual bensin botolan di Puncak Jaya. Hidup mengajarkan bahwa tidak ada pekerjaan yang hina selama halal,” ujarnya sembari tersenyum, mengenang masa-masa perjuangan.
Seperti roda yang terus berputar, takdir membawa Wagus bertemu dengan dunia penerbangan melalui PT Trigana Air. Berawal dari posisi administrasi sederhana, ia perlahan membangun jaringan dan pemahaman tentang industri yang kelak mengubah hidupnya.
“Allah memiliki rencana yang indah. Saat itu saya hanya fokus bekerja sebaik mungkin, tidak pernah membayangkan akan memiliki maskapai sendiri,” tuturnya rendah hati.
Ujian dan peluang
Tahun 2012 menjadi titik balik ketika sebuah pesawat ditembak di Papua. Di tengah ketakutan maskapai lain yang mundur, Wagus justru melihat celah. Dengan keyakinan kuat dan perhitungan matang, ia mendirikan Semuwa Aviasi Mandiri (SAM) Air.
“Pesawat bukan sekadar alat transportasi di Papua, tapi juga penghubung kehidupan,” jelasnya dengan mata berbinar, menggambarkan visinya untuk Papua yang lebih terhubung.
Kini, di usia setengah abad, pengusaha sekaligus politisi kawakan yang pernah membangun usaha maskapai ini tetap memilih berpenampilan sederhana. Sandal jepit dan polo shirt menjadi pilihan kesehariannya, menunjukkan bahwa kesuksesan tidak mengubah jati dirinya.
Meski tak lagi menjadi pengusaha maskapai, namun kisah perjalanan Wagus Hidayat membangun usaha penerbangan patut menjadi memori inspirasi. Memulai dari nol, hingga pernah dijuluki ‘raja aviasi’ Papua.
“Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai,” Prinsip hidup leluhur inilah yang menjadi kompas hidupnya, bahkan ketika harus menghadapi tantangan di kawasan rawan konflik.
Lima kunci sukses yang selalu ia tekankan: Komitmen, Disiplin, Kejujuran, Kerja keras, dan doa.
“Kesuksesan bukan tentang seberapa tinggi kita terbang, tapi seberapa dalam akar kita tertanam di bumi,” pesannya kepada generasi muda.
Kini, sebagai anggota DPRD Papua yang baru dilantik, Wagus membawa misi baru. Bukan lagi sekadar mengangkasa, tapi juga mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua melalui kebijakan-kebijakan yang membumi.
“Alhamdulillah, ini semua berkat ridho Allah SWT dan dukungan keluarga serta masyarakat,” ucapnya penuh syukur, didampingi senyum bangga sang istri, Hj. Suryati.
Dari kondektur bus hingga menjadi wakil rakyat di Bumi Cenderawasih, kisah Wagus Hidayat adalah testimoni hidup bahwa mimpi tak mengenal batas ketika dipadukan dengan kerja keras dan kerendahan hati.
Seperti burung cenderawasih yang mengepakkan sayapnya dengan anggun di langit Papua, begitu pula Wagus terus terbang membawa harapan untuk tanah kelahirannya.