Poligami di Zaman Ini: Nafsu yang Disulap Jadi Sunnah

Oleh: Fauzi Wahyudin,S.I.Kom.,M.Sos.

Dosen/Akademisi

Di tengah arus zaman yang terus bergerak maju, praktik poligami masih menjadi perdebatan sengit yang menggugah akal sehat dan nurani.

Meski sebagian pihak masih menjadikan poligami sebagai bagian dari dalil keagamaan, praktik ini semakin kehilangan relevansinya dalam konteks sosial, budaya, dan psikologis masyarakat masa kini.

Bahkan, alih-alih menjadi ladang pahala sebagaimana dijanjikan sebagian penafsir teks agama, praktik poligami hari ini justru bisa menjadi “ticket” yang mengantar seseorang pada ketidakadilan, luka batin, bahkan jika tidak hati-hati ke dalam jurang dosa.

Pertanyaan mendasarnya adalah: adakah di antara kita, Manusia, yang benar-benar mampu berlaku adil dalam menjalankan poligami saat ini?

Keadilan yang Mustahil Diukur

Dalam Al-Qur’an, Surah An-Nisa ayat 3 memang memberi ruang terbatas untuk poligami, dengan syarat utama: “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja.

“Ironisnya, pada ayat yang sama dalam Surah An-Nisa ayat 129, Allah SWT menegaskan: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”

Pernyataan ini seakan menjadi konfirmasi ilahi bahwa keadilan mutlak dalam poligami adalah mustahil dicapai oleh manusia.

Maka pertanyaannya: jika Allah Swt sendiri menyatakan manusia tidak mampu berlaku adil dalam hal ini, lalu atas dasar apa kita masih berani melanggengkan praktik yang hampir pasti berujung pada ketidakadilan tersebut?

Hak Perempuan yang Terkebiri oleh Dalil Lama

Banyak perempuan hari ini menjadi korban praktik poligami yang ditopang oleh dalil agama tanpa mempertimbangkan konteks sosiologis dan psikologis kekinian.

Menurut data dari Komnas Perempuan (2023), dalam banyak kasus poligami, lebih dari 70% istri pertama mengalami tekanan psikis, depresi, bahkan trauma yang berkepanjangan.

Baca Juga  Kolaborasi Bukit Baruga dan Artani Sukses Gelar Workshop Baruga Berkebun

Ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang dipaksa mengucapkan kata “ikhlas” hanya demi menjaga keharmonisan rumah tangga yang telah retak sejak awal.

Namun, apakah benar seorang istri yang berkata ikhlas hatinya benar-benar menerima dengan lapang dada? Bukankah lisan bisa berdusta sementara batin tak bisa dibohongi?

Tak ada satu pun tolak ukur ilmiah yang mampu mengukur keadilan dalam berpoligami secara objektif. Keadilan emosional, waktu, perhatian, dan materi tak bisa disamakan antar individu. Maka, bagaimana bisa keadilan menjadi syarat utama dalam poligami, jika alat ukurnya sendiri tidak pernah eksis secara konkret?

Ketimpangan Sosial dan Budaya dalam Poligami

Di Indonesia, poligami sering kali dilakukan oleh laki-laki yang memiliki kekuasaan baik ekonomi, politik, maupun spiritual. Fenomena ini melanggengkan ketimpangan relasi gender dan menjadikan perempuan sebagai objek yang harus “taat” atas nama agama.

Dalam masyarakat patriarkal, perempuan yang menolak poligami sering distigma tidak taat agama, egois, bahkan durhaka. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang terselubung.

Poligami tidak lagi dilihat sebagai solusi sosial (misalnya, saat kondisi perang atau kemiskinan ekstrim di masa lalu), melainkan menjadi simbol kekuasaan laki-laki atas tubuh dan perasaan perempuan.

Bahkan, survei nasional Litbang Kompas tahun 2022 menunjukkan bahwa 82,4% perempuan menolak poligami, dengan alasan utama: ketidakadilan emosional dan psikis yang dialami oleh istri pertama.

Maka wajar jika banyak aktivis hak perempuan dan ulama progresif menyatakan bahwa poligami tidak relevan lagi di era sekarang, dan praktik tersebut justru kerap menjadi ladang ketidakadilan yang mencederai nilai-nilai Islam itu sendiri.

Kesimpulan: Sudahi Kriminalisasi Atas Nama Dalil

Sudah saatnya kita berhenti mengkriminalisasi hak perempuan atas nama dalil lama yang tidak lagi relevan dengan situasi sosial saat ini. Agama adalah petunjuk menuju keadilan dan kasih sayang, bukan alat pembenaran untuk menyakiti.

Baca Juga  Indosat dan Siloam Hadirkan Paket Roaming dan Vaksin Haji 2025

Jika tidak ada satu pun jaminan keadilan dalam poligami baik secara emosional, psikologis, maupun spiritual—maka melanggengkan praktik ini dengan embel-embel “sunnah” justru bisa menjadi bentuk manipulasi ajaran agama itu sendiri.

Poligami yang semestinya menjadi jalan pahala, jangan sampai justru menjadi jalan dosa karena kita gagal memenuhi syarat utama yang ditetapkan Tuhan: KEADILAN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *