Kabareditorial.com, Tarakan — Dugaan pembohongan publik terkait kinerja keuangan PDAM Tirta Alam Tarakan mencuat, setelah ada laporan keuangan tahun 2024 yang diekspos ke media dinilai bertentangan dengan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
Akibatnya, masyarakat Tarakan disebut menjadi korban kebohongan, karena dividen tetap dibagikan meski perusahaan mengalami kerugian besar.
Sekretaris Pusat Anti Korupsi Universitas Patria Artha (PUKAT UPA), Soewitno Kaji mengkritik keras klaim Direktur Utama PDAM Tirta Alam Tarakan, Iwan Setiawan, yang menyatakan bahwa PDAM membukukan pendapatan sebesar Rp104 miliar pada 2024, dengan laba bersih Rp15 miliar dan dividen sebesar Rp8 miliar.
“Ini luar biasa hiperbolanya. Dalam empat tahun terakhir, PDAM Tirta Alam Tarakan justru mengalami kerugian terus-menerus, tapi sekarang tiba-tiba diklaim laba besar dan membagi dividen. Ini jelas menyesatkan publik,” kata Soewitno Kaji dalam pernyataan resminya, Sabtu (26/04/2025).
Berdasarkan pemantauan PUKAT UPA yang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui surat nomor B/681/PJK.01.02/33/02/2025 tanggal 4 Februari 2025, tercatat bahwa PDAM Tirta Alam Tarakan mengalami kerugian berturut-turut: rugi Rp20,85 miliar pada 2020, rugi Rp10,32 miliar pada 2021, rugi Rp10,16 miliar pada 2022, dan rugi Rp17,45 miliar pada 2023.
Total kerugian mencapai Rp58,78 miliar selama masa kepemimpinan Iwan Setiawan.
Lebih memprihatinkan, akumulasi kerugian PDAM dalam laporan keuangan audited per 31 Desember 2023 tercatat akumulasi kerugian sebesar Rp202,47 miliar. Namun, dalam kondisi merugi tersebut, Walikota Tarakan sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM) tetap mengesahkan pembagian dividen setiap tahunnya.
“Kalau perusahaan rugi, seharusnya tidak ada dividen. Ini pembohongan publik yang nyata, dan yang jadi korban adalah masyarakat Tarakan,” ujar Soewitno, Sekretaris PUKAT UPA.
PUKAT UPA juga mempertanyakan kejanggalan dalam laporan keuangan 2024. Dengan pendapatan Rp104 miliar dan laba bersih Rp15 miliar, berarti beban operasional hanya sekitar Rp89 miliar.
Padahal pada tahun 2023, beban operasional tercatat sebesar Rp108 miliar. Artinya, terjadi penurunan biaya operasional dan kehilangam air sebesar Rp36 miliar hanya dalam satu tahun, di tengah kondisi tingkat kebocoran air distribusi diduga masih tinggi.
“Ini di luar nalar kami sebagai analis keuangan. Ada penurunan biaya operasional yang tidak wajar. Kami khawatir ada akrobat dalam audit laporan keuangan,” tambah Sekretaris PUKAT UPA itu.
Ia juga menegaskan pentingnya kopetensi dan integritas KAP/ Kantor Akuntan Publik yang akan mengaudit laporan keuangan PDAM Tarakan meskipun diminta oleh direksi yang membayarnya, dan kami berharap agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa mereviu hasil laporan KAP terhadap PDAM Tarakan tahun buku 2024, sewaktu melakukan pemeriksaan laporan Keuangan Pemkot Tarakan 2024 secara independen dan profesional. Kami percaya kepada auditor BPK yg sdh pada ahli.
“Empat tahun sudah cukuplah. Tidak boleh lagi ada toleransi yang berlebihan terhadap permasalahan yang ada, sehingga tiap tahun ada perbaikan yang nyata, agar tidak merugikan masyarakat,” tutup Soewitno.