

“Saya sudah lama memendam ini. Saya kira, sebagai perempuan, sebagai kakak yang membangun usaha bersama ibu saya, saya punya hak yang sama. Tapi ternyata, saya salah. Saya cuma dianggap ‘perempuan’,” ucap Vivi lirih, saat konferensi pers di Nasi Tempong Ayam De Tempong Hasanuddin, Kota Makassar, Kamis (10/7).
Kabareditorial.com, Makassar — Awan mendung menggantung rendah di atas kota Makassar sore itu. Hujan seolah menggantung di pelupuk langit, menahan tumpahnya segala luka yang tertahan. Di tengah gerimis yang belum turun, sebuah kisah personal yang berat dan jujur disampaikan oleh seorang perempuan tangguh, Vivi Anna Maria.
Ia bukan hanya pemilik Hermin Salon, bisnis kecantikan yang dikenal luas di Makassar, tapi juga seorang psikolog klinis yang selama bertahun-tahun mendengarkan curhat orang lain.
Namun kali ini, dialah yang bersuara. Suara yang membawa luka karena merasa tak diakui, tak diberi tempat yang adil hanya karena ia perempuan.
“Saya sudah lama memendam ini. Saya kira, sebagai perempuan, sebagai kakak yang membangun usaha bersama ibu saya, saya punya hak yang sama. Tapi ternyata, saya salah. Saya cuma dianggap ‘perempuan’,” ucap Vivi lirih, saat konferensi pers di Nasi Tempong Ayam De Tempong Hasanuddin, Kota Makassar, Kamis (10/7).
Budaya yang menyisakan luka
Lahir dari keluarga Tionghoa, Vivi menyadari betapa kuatnya nilai-nilai patriarki yang menjunjung tinggi posisi anak laki-laki.
“Dalam keluarga kami, adik saya, JH, selalu dianggap lebih utama. Dia laki-laki, katanya penerus marga, padahal saya yang dari awal bantu mami saya bangun Hermin Salon dari nol. Tapi saat pembagian warisan, saya justru dianaktirikan,” keluh Vivi, sembari menahan air mata.
Mengacu pada studi dalam Edulnovasi: Journal of Basic Educational Studies (Vol 5 No 1-2025), budaya Tionghoa memang masih menganut sistem patrilineal dan patrilokal yang menempatkan laki-laki sebagai pewaris utama.
Nilai-nilai tradisional tersebut telah membentuk kerangka pikir yang menempatkan perempuan di posisi subordinat bahkan dalam keluarga sendiri.
“Di depan hukum, kami semua adalah ahli waris. Tapi kenapa dalam praktik, hanya karena saya perempuan, saya harus tunduk pada semua aturan yang adik saya buat?”
Bukan sekadar warisan, ini luka
Vivi bercerita, sejak ibunya meninggal, konflik semakin meruncing. Adiknya, JH, yang kini sukses memiliki enam pabrik air mineral, menolak memberikan hak Vivi atas beberapa aset termasuk rumah, ruko, dan tabungan usaha yang ia rasa dibangun dari keringatnya sendiri.
“Saya yang cari pembeli, tapi dia yang mengatur pembagian. Bahkan saat saya butuh dana untuk operasi katarak, dia menolak tanda tangan transaksi tanah warisan. Saya cuma diminta tandatangan surat bahwa saya tidak boleh menghubungi dia lagi. Sementara mata saya sudah 70% kabur saat itu,” tutur Vivi dengan nada getir.
Konflik memuncak saat istri adiknya, ST, memfitnah dan mengata-ngatai Vivi lewat WhatsApp ke sejumlah staf salon. Vivi melaporkan kejadian itu ke Krimsus Polda Sulsel pada Januari 2024 sebagai bentuk “shock treatment”.
“Tapi laporan saya diam di tempat. SP2HP tak pernah saya terima. Waktu saya ke kantor polisi, katanya Kanitnya kecelakaan. Sementara saya tahu dari staf saya dan pengacara, mereka (ST & JH) bilang siap main uang besar untuk ‘mengatur’ aparat,” beber Vivi.
Ketika cinta keluarga dihancurkan ketimpangan gender
Vivi menolak keras budaya yang menganakemaskan pria dalam keluarga. Ia merasa warisan yang diperjuangkannya, bahkan aset yang ia hasilkan bersama almarhumah ibunya lewat Hermin Salon, kini diklaim sepihak oleh adiknya dan istrinya.
“Saya tidak pernah melihat mereka bekerja di salon. Satu hari pun tidak pernah. Tapi sekarang mereka bicara seolah semua itu punya mereka. Bahkan satu unit ruko yang dipinjam selama 15 tahun dianggap sudah menjadi miliknya,” ucap Vivi, menahan emosi.
Ia kemudian menuntut keadilan bukan sekadar secara hukum, tetapi secara moral dan nilai. Vivi ingin seluruh harta yang dihasilkan dari Hermin Salon mulai dari rumah di Jalan Macan, ruko di Hasanuddin, hingga tanah di Takalar dikembalikan kepada dirinya atau kepada Tuhan, jika adiknya sudah tidak menganggapnya sebagai kakak lagi.
“Kita sudah antar dia pada kesuksesan. Tapi kalau dia tidak anggap saya kakaknya, maka saya mohon, kembalikan semua yang dibeli dari keringat Hermin Salon. Siri’ na pacce! Jangan bermegah di atas keringat orang lain,” seru Vivi tegas.
Psikolog bicara: parenting tak adil bisa tinggalkan luka psikologis mendalam
Sebagai seorang psikolog, Vivi menyadari betul dampak dari pola parenting yang memanjakan anak laki-laki.
“Saya sendiri yang menjalani. Anak perempuan itu lebih peduli, lebih tulus menjaga orang tua. Tapi kenapa saat warisan dibagi, kami malah dianggap tak berhak?” tanyanya.
Menurut Vivi, kasus ini bukan sekadar masalah keluarga atau harta. Ini adalah cerminan dari sistem sosial yang tidak adil, yang mewariskan luka antar generasi.
“Zaman sekarang, kita tidak bisa lagi bergantung pada rasa pria atau wanita. Anak perempuan bisa lebih berguna, lebih peduli, bahkan lebih sukses dari anak laki-laki. Tapi sistem budaya kita kadang masih berpikir anak perempuan hanya pelengkap,” jelasnya.
Vivi menegaskan, dirinya bukan hanya menuntut haknya sebagai ahli waris, tapi juga sebagai perempuan yang ingin diakui setara.
“Saya bukan ingin menang. Saya hanya ingin adil. Saya hanya ingin didengar,” tutup Vivi.


Tidak ada komentar