“Saya ini orang Jawa, tapi jiwa saya Papua,” katanya membuka percakapan. Sebuah pernyataan sederhana yang memuat kedalaman identitas dan cinta pada tanah tempatnya dibesarkan.
Langit Makassar siang itu cerah, meski panas yang menyengat seperti memaksa siapa pun mencari teduh. Suara deru kendaraan bersahut-sahutan di jalan Pettarani, salah satu urat nadi kota ini.
Di sebuah sudut kota, berdiri Kantor Bank Papua Cabang Makassar, tempat Alexander Iwan memulai babak baru dalam perjalanan panjangnya sebagai seorang bankir.
Baru dua bulan Alexander bertugas di kota ini. Lelaki berusia 50 tahun itu, lahir pada 15 Maret 1974 di Manokwari, Papua Barat.
“Saya ini orang Jawa, tapi jiwa saya Papua,” katanya membuka percakapan. Sebuah pernyataan sederhana yang memuat kedalaman identitas dan cinta pada tanah tempatnya dibesarkan.
Orangtua Alexander adalah guru Trikora, bagian dari program pemerintah Indonesia tahun 1965 untuk mendidik generasi muda Papua.
“Ayah dan ibu saya dulu guru. Mereka ditugaskan ke Papua dari Jawa Tengah. Jadi, kami semua lahir dan besar di sana,” tuturnya dengan nada bangga.
Sebagai anak keempat dari enam bersaudara, masa kecil Alexander penuh dengan cerita tentang semangat dan perjuangan.
“Dulu saya bercita-cita jadi pemain bola. Lapangan di sekitar rumah jadi tempat bermain saya setiap hari. Tapi, hidup punya rencana lain,” katanya, mengenang masa kecilnya di Manokwari.
Kini, Alexander adalah kepala cabang Bank Papua di Makassar, salah satu kota besar di Indonesia Timur. Perjalanan kariernya di bank ini dimulai dari posisi terendah.
“Saya pertama kali masuk Bank Papua sebagai staf supporting. Tugasnya membantu operasional, seperti mengurus dokumen,” katanya sambil tersenyum.
Dia mengisahkan, di Bank Papua ada tiga divisi utama, bisnis, layanan, dan supporting.
“Saya memulai di supporting, kemudian pindah-pindah sesuai kebutuhan. Setelah beberapa tahun, saya diberi tanggung jawab lebih besar di divisi layanan dan bisnis,” ujarnya.
Perjalanan itu tak pernah mudah. Selama hampir 30 tahun, Alexander berpindah-pindah tempat tugas, dari Manokwari, Jayapura, hingga Timika dan Sorong.
“Setiap daerah punya tantangan sendiri. Di Puncak Jaya, saya merasakan betapa sulitnya hidup di daerah pegunungan. Sementara di Teluk Wondama, saya pernah menyaksikan langsung dampak bencana alam,” katanya, mengenang.
Namun, tantangan terbesar baginya bukanlah medan tugas, melainkan harus berpisah dari keluarga.
“Jadi pejabat bank itu repot. Harus siap dipindahkan kapan saja. Anak dan istri saya sering harus tinggal di tempat lain. Itu yang kadang membuat saya ingin berhenti,” ungkapnya jujur.
Meski berat, Alexander tak bisa menolak ketika dipercaya menjadi kepala cabang.
“Ini amanah. Saya sempat menolak beberapa kali karena risikonya tinggi. Tapi, akhirnya saya menerima. Tanggung jawab ini harus dijalani,” katanya dengan nada tegas.
Kini, di Makassar, Alexander menghadapi dinamika yang berbeda.
“Di Papua, perusahaan besar itu terbatas. Tapi di sini, pilihan lebih banyak. Kompetisi juga lebih ketat,” ujarnya.
Namun, dia melihat ini sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.
Sebagai kepala cabang, fokus Alexander adalah mendukung pengembangan UMKM di wilayah Makassar.
“Kami punya produk-produk perbankan yang bisa membantu pelaku usaha kecil memulai atau mengembangkan bisnis mereka. Itu yang membuat pekerjaan ini berarti,” katanya.
Di kantor, Alexander dikenal sebagai pemimpin yang ramah dan rendah hati. Para karyawan sering melihatnya berdiskusi dengan staf-staf junior.
“Saya selalu bilang, pekerjaan ini bukan tentang angka saja. Ini soal bagaimana kita bisa membantu orang lain,” ujarnya.
Suasana di Kantor Bank Papua Cabang Makassar siang itu cukup lengang. Di balik meja kerjanya, Alexander mengamati aktivitas kantor dengan penuh perhatian.
“Makassar punya energi yang berbeda. Kota ini hidup, dinamis, dan penuh peluang. Saya belajar banyak dari orang-orang di sini,” katanya, memuji kota tempatnya bertugas saat ini.
Alexander juga berbicara tentang arti kesederhanaan.
“Saya tidak pernah bercita-cita jadi bankir top. Hidup membawa saya ke sini, dan saya hanya berusaha menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya,” katanya dengan nada lembut.
Baginya, sukses bukan soal jabatan atau penghargaan, melainkan dampak yang bisa diberikan kepada orang lain.
“Ketika saya melihat nasabah kecil berkembang karena produk kami, itu sudah cukup memuaskan,” ujarnya.
Siang mulai merambat sore. Aktivitas di kantor masih padat. Di luar, panas matahari mulai bergeser, menyisakan bayangan panjang di trotoar. Alexander menatap ke luar jendela kantornya, seolah mencari inspirasi dari hiruk pikuk kota.
“Saya ini orang Papua, meski darah saya Jawa. Jiwa saya adalah jiwa Papua yang penuh semangat dan cinta pada tanah kelahiran. Tapi, di Makassar, saya belajar bahwa hidup adalah tentang beradaptasi, saling membantu, dan terus maju,” tutupnya.
Makassar mungkin hanya akan menjadi salah satu persinggahan dalam perjalanan panjang Alexander Iwan.
Tapi, di setiap tempat ia bertugas, satu hal yang pasti: semangat Trikora yang diwariskan orang tuanya akan terus hidup, menginspirasi setiap langkahnya.