Hukrim  

Bastian Lubis : Reformasi Hukum dan Perampasan Aset, Kunci Keluar dari Jerat Korupsi

Kabareditorial.com, Makassar — Korupsi di Indonesia terus menjadi permasalahan yang belum menemukan ujung penyelesaian. Meski berbagai upaya telah dilakukan, hasilnya justru kerap mengecewakan dan membebani keuangan negara.

Peneliti senior Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patria Artha (UPA), Bastian Lubis menilai, pemberantasan korupsi selama era reformasi seolah hanya menjadi aktivitas seremonial tanpa dampak signifikan.

“Seperti skandal besar di PT Timah yang melibatkan Harvey Moeis dengan potensi kerugian hingga Rp300 triliun, menunjukkan kelemahan serius dalam sistem hukum,” kata Bastian dalam Siaran Pers resminya, Selasa (31/12/2024).

Proses hukum yang panjang dan menghabiskan anggaran negara hingga miliaran rupiah hanya berujung pada hukuman ringan dan denda kecil, jauh dari keadilan yang diharapkan. Ironi ini menggambarkan bagaimana korupsi seolah-olah dipelihara alih-alih diberantas.

“Korupsi di Indonesia juga tidak lepas dari lemahnya pengawasan internal maupun eksternal. Lembaga seperti Inspektorat, BPKP, dan BPK, yang seharusnya menjadi benteng pencegahan, seringkali gagal menjalankan fungsinya secara optimal,” tambah Pakar Keuangan Negara itu.

Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang dikeluarkan BPK untuk laporan keuangan pemerintah daerah, misalnya, kerap menjadi paradoks karena daerah tersebut tetap terjerat kasus korupsi.

“Bahkan, transparansi yang seharusnya menjadi prinsip utama lembaga pengawas, kini semakin diragukan dengan tidak lagi terbukanya laporan hasil pemeriksaan di situs resmi BPK,” tukasnya.

Lebih lanjut, Bastian menyoroti penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk kolonial Belanda. KUHP yang lebih menekankan sanksi pidana tidak mampu menjadi solusi atas permasalahan yang kompleks.

Padahal, kata dia, paket undang-undang keuangan negara yang diadopsi sejak 2003 telah memberikan pendekatan yang lebih berfokus pada pemulihan keuangan negara.

“Namun, upaya ini terhambat oleh masih dominannya pendekatan hukum pidana yang sering kali hanya menambah beban negara,” pungkasnya.

Baca Juga  OJK Ajukan Kasasi atas Putusan PTUN dalam Kasus Michael Steven

Praktik politik uang dalam pemilu juga menjadi salah satu akar masalah. Kandidat kepala daerah dan anggota legislatif yang mengeluarkan dana besar untuk kampanye sering kali tergoda untuk mencari jalan pintas mengembalikan modal melalui tindakan korupsi.

“Celakanya, masyarakat juga turut berkontribusi dalam mendukung praktik ini dengan menerima uang untuk memilih kandidat tertentu,” kata Rektor UPA itu.

Salah satu langkah yang dinilai krusial untuk memberantas korupsi adalah mempercepat pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset.

UU ini diyakini dapat menjadi alat efektif dalam memulihkan kerugian negara tanpa harus menghabiskan biaya besar untuk proses hukum. Selain itu, pemberdayaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai koordinator pengawas internal pemerintah juga menjadi solusi strategis.

“Pemberantasan korupsi bukan hanya tentang menangkap pelaku, tetapi juga menciptakan sistem yang mencegah terjadinya penyimpangan sejak awal,” tutup Bastian.

Tanpa langkah konkret dan keberanian politik yang kuat, korupsi Bkat Bastian akan terus menjadi penyakit kronis yang menggerogoti fondasi bangsa. Ia lantas menyarankan elit negara, untuk saatnya berani mengambil langkah berbeda untuk keluar dari jeratan korupsi yang telah lama membelenggu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *