

“Kalimantan Utara adalah wilayah yang tumbuh cepat. Investasi datang dari banyak arah. Kita butuh anak-anak muda yang tak hanya lahir di sana, tapi juga siap menjadi tuan rumah di tanah sendiri,” ujarnya pelan namun penuh makna, Senin (30/6/2026).
Langit Kabupaten Gowa pagi itu memintal awan kelabu. Mendung yang bergelayut seakan menyelimuti langit dengan selimut lembut, menghadirkan keheningan yang syahdu. Daun-daun pohon sukun yang berjajar di pelataran Universitas Patria Artha (UPA) bergoyang pelan ditiup angin.
Udara terasa sejuk, menenangkan, seolah ikut mengamini perasaan penuh syukur dan bangga yang hari itu menyelimuti kampus yang asri di selatan Pulau Sulawesi.
Di tengah udara yang menggantungkan aroma hujan, sebuah kabar membahagiakan tiba. Mahasiswa penerima beasiswa dari Yayasan Patria Artha angkatan pertama, program studi Diploma Tiga Kebidanan, telah resmi menuntaskan studi mereka.
Tak hanya itu, mereka juga telah lulus uji kompetensi nasional. Kini, mereka hanya tinggal menunggu izin praktik dari Kementerian Kesehatan, tahap akhir sebelum mereka kembali ke tanah kelahiran untuk mengabdi.
Mereka bukan sekadar lulusan. Mereka adalah anak-anak muda dari pelosok Kalimantan Utara (Kaltara), provinsi muda yang sedang bertumbuh, dengan semangat seperti bara yang tak pernah padam.
Tahun akademik 2021/2022 menjadi awal perjalanan mereka. Hari ini, langkah itu tiba di garis akhir, atau mungkin, justru garis awal untuk perjalanan hidup yang lebih luas dan mendalam.
Rektor Universitas Patria Artha, Bastian Lubis, menyampaikan harapannya yang tak pernah surut, agar Yayasan Patria Artha tetap menjadi jembatan bagi anak-anak Kaltara untuk menapaki tangga pendidikan tinggi.
“Kalimantan Utara adalah wilayah yang tumbuh cepat. Investasi datang dari banyak arah. Kita butuh anak-anak muda yang tak hanya lahir di sana, tapi juga siap menjadi tuan rumah di tanah sendiri,” ujarnya pelan namun penuh makna, Senin (30/6/2026).
Pendidikan, bagi UPA dan YPA, bukan sekadar agenda akademik. Ia adalah bentuk cinta. Cinta kepada negeri, cinta kepada masa depan.
Program beasiswa ini kata Bastian Lubis, lebih dari sekadar angka dan data. Ia adalah kisah perjuangan keluarga, cerita dari perbatasan, harapan dari pelajar yang kadang harus menempuh berjam-jam perjalanan menembus sungai dan hutan untuk sampai ke sekolah.
“Setiap mahasiswa dibentuk untuk menjadi profesional yang tak hanya cakap secara akademik, tapi juga memiliki karakter kuat dalam menghadapi tantangan dunia kerja,” tambahnya.
Hari ini, dari asrinya kampus yang terletak di bawah langit mendung Gowa, gema keberhasilan itu menggema jauh ke Tanjung Selor, ke Malinau, ke Krayan.
Banyak yang menyusul. Untuk tahun ajaran 2024/2025, pendaftaran beasiswa kembali dibuka. Antusiasme luar biasa datang dari berbagai kabupaten di Kaltara.
Anak-anak dari wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, yang biasanya hanya bisa bermimpi kuliah, kini mulai menapak harapan. Seleksi kompetensi akan digelar pertengahan Juli 2025 di Tanjung Selor.
Langit mulai menitikkan hujan tipis. Rintiknya menyentuh tanah kampus seperti tetes air suci yang membasuh segala penat dan lelah perjuangan. Bagi mereka yang telah menyelesaikan studi, rintik itu mungkin adalah simbol doa yang turun dari langit.
Di balik kisah ini, Yayasan Patria Artha terus menjadi cahaya kecil yang menerangi jalan pendidikan. Selama lebih dari 13 tahun, yayasan ini telah menjadi penopang bagi banyak keluarga yang tak mampu membiayai pendidikan tinggi anak-anaknya.
“Apa yang kami lakukan bukanlah karitas semata, tapi bagian dari misi besar Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat, pendidikan, dan penelitian,” jelas Bastian Lubis.
Tak berhenti di dalam negeri, UPA pun menjalin kolaborasi dengan 12 universitas di Taiwan, khususnya di bidang teknik dan informatika.
“Mahasiswa yang menunjukkan prestasi akademik dan kemampuan bahasa yang baik memiliki peluang untuk melanjutkan kuliah di Taiwan, membawa pulang dua gelar sarjana teknik sekaligus,” tambahnya.
Ini adalah wujud dari tekad UPA untuk membuka jendela dunia bagi anak-anak Indonesia, bahkan dari pelosok-pelosok yang selama ini luput dari perhatian.
Kini, saat hujan benar-benar turun, para mahasiswa berjalan pelan di lorong kampus. Di wajah mereka ada senyum lega. Di mata mereka ada mimpi yang tak selesai. Sebentar lagi, mereka akan kembali ke tanah Kaltara, bukan hanya sebagai anak kampung, tapi sebagai bidan profesional, sebagai pelopor, sebagai saksi bahwa ilmu bisa mengubah kehidupan.


Tidak ada komentar